Ayam Kampus |
(Kabarjatim.com, SURABAYA) - Fenomena lahirnya ayam
kampus merupakan sebuah gejala sosial yang lahir dari sebuah keadaan
sosial yang abai terhadap etika dan moral sosial. Berbagai motif
mengiringi lahirnya praktek ayam kampus, dari motif finansial sampai
kebutuhan akan gaya hidup.
Human traficking dan praktek prostitusi berada dalam tahap yang
sangat memprihatinkan di Indonesia. Praktek tersebut menyasar berbagai
level sosial dan jenjang pendidikan, dari anak sekolah hingga mahasiswa
yang biasa dikenal sebagai ayam kampus. Parahnya lagi, seringkali
konsumennya adalah para tokoh dan pejabat terpandang negeri ini.
Para pejabat dan tokoh ini memilih kelas wanita penghibur yang berbeda. Mereka lebih memilih yang cantik dan berpendidikan, mereka lebih memburu ayam kampus meski dengan harga yang mahal. Sadar atau tidak, mereka ada. Kehadiran mereka ada di kampus-kampus negeri ataupun swasta. Semakin hari, makin banyak mahasiswi yang menjadi ayam kampus. Benarkah keputusan mereka untuk menjual diri karena ekonomi yang kurang?
Kerja Ayam Kampus Untuk Memenuhi Gaya Hidup
Kasus yang menimpa Maharany Suciyono setelah mendapat uang perkenalan sebanyak Rp 10 juta dari orang yang diduga suruhan Luthfi Hasan Ishaaq, membuat masyarakat curiga dan bertanya-tanya. Kejadian tersebut sangat ganjil, tidak heran jika banyak orang menduga bahwa Maharany memiliki kemungkinan besar berprofesi tambahan.
Dilansir dari merdeka.com, melalui gresik.co, Sosiolog Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Musni Umar mengatakan, ada beberapa hal yang membuat seseorang wanita memilih bekerja sebagai ayam kampus. Antara lain untuk memenuhi kebutuhan akan gaya hidupnya. “Dalam kasus saudari M, saya bisa mengategorikannya ke dalam corruption by need. Dia memerlukan biaya untuk mengikuti gaya hidupnya,” kata Musni Umar.
Ada juga faktor corruption greed, yaitu dilakukan oleh mahasiswi yang sebenarnya tidak punya masalah keuangan. Jika mahasiswi berasal dari keluarga mampu, bisa menempuh pendidikan di bangku perguruan tinggi bermutu, dapat uang saku, tetapi masih memilih sebagai ayam kampus, maka faktor ingin hidup mewah bisa menjadi salah satu penyebabnya.
Para pejabat dan tokoh ini memilih kelas wanita penghibur yang berbeda. Mereka lebih memilih yang cantik dan berpendidikan, mereka lebih memburu ayam kampus meski dengan harga yang mahal. Sadar atau tidak, mereka ada. Kehadiran mereka ada di kampus-kampus negeri ataupun swasta. Semakin hari, makin banyak mahasiswi yang menjadi ayam kampus. Benarkah keputusan mereka untuk menjual diri karena ekonomi yang kurang?
Kerja Ayam Kampus Untuk Memenuhi Gaya Hidup
Kasus yang menimpa Maharany Suciyono setelah mendapat uang perkenalan sebanyak Rp 10 juta dari orang yang diduga suruhan Luthfi Hasan Ishaaq, membuat masyarakat curiga dan bertanya-tanya. Kejadian tersebut sangat ganjil, tidak heran jika banyak orang menduga bahwa Maharany memiliki kemungkinan besar berprofesi tambahan.
Dilansir dari merdeka.com, melalui gresik.co, Sosiolog Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Musni Umar mengatakan, ada beberapa hal yang membuat seseorang wanita memilih bekerja sebagai ayam kampus. Antara lain untuk memenuhi kebutuhan akan gaya hidupnya. “Dalam kasus saudari M, saya bisa mengategorikannya ke dalam corruption by need. Dia memerlukan biaya untuk mengikuti gaya hidupnya,” kata Musni Umar.
Ada juga faktor corruption greed, yaitu dilakukan oleh mahasiswi yang sebenarnya tidak punya masalah keuangan. Jika mahasiswi berasal dari keluarga mampu, bisa menempuh pendidikan di bangku perguruan tinggi bermutu, dapat uang saku, tetapi masih memilih sebagai ayam kampus, maka faktor ingin hidup mewah bisa menjadi salah satu penyebabnya.
0 komentar:
Posting Komentar